Rabu, 28 Mei 2008

Burung ‘ber-KTP’ gelap

Telepon genggam saya menjerit-jerit ketika sebuah pesan pendek (SMS) seorang kawan dari Yogyakarta mampir. Kawan yang menyukai pengamatan burung itu menanyakan soal buku Daftar Burung Indonesia No. 2 (DBI), “Berapa harganya?”

Usai menjawab SMS sang karib, saya pun tergugah untuk membuka lembar demi lembar DBI. Mendaras DBI ibarat nostalgia; burung memang pernah dekat dalam keseharian saya.

Dengan rombongan penulis kelas wahid di bidang perburungan, pustaka ini agaknya tergelincir dalam sejumlah kekeliruan penulisan. Tentu saja saya tak akan mengotak-atik larikan jenis burung yang terdaftar di dalamnya. Para penulisnya lebih paham soal burung mana yang masuk daftar, atau harus terdepak ke luar.

Sebelum banyak merenjeng lidah, tulisan ini hanya berniat menunjukkan menulis ternyata susah-susah mudah. Mudah, siapapun yang mampu membaca pasti bisa menulis dan sebaliknya. Susah, menulis—dan membaca, butuh nalar yang bening, agar runtut dan mudah dipahami/memahami. Susah dan mudah ibarat dua sisi sekeping mata uang.

Buku tak ada yang sempurna. Ini kata seorang sahabat yang telah malang-melintang menulis. Saya sepakat, tapi ‘tak ada yang sempurna’ dalam kalimat itu tidak menyangkut kesalahan elementer dalam merangkai kata. Sialnya, jenis kekeliruan ini banyak berceceran di halaman DBI.

Buku tak ada yang sempurna. Ini, salah satunya, lebih berkaitan dengan hasrat sang penulis yang tak seluruhnya bisa ditampung dalam lembaran buku. Godaan terbesar terletak pada keinginan untuk menumpahkan semua hal dalam halaman yang terbatas. Bila sudah begitu, tenggat molor; tak rampung-rampung.

Membaca DBI, saya baru paham burung juga bisa menjadi korban perubahan peta geopolitik. Sejak lama Kalimantan telah terbelah menjadi tiga bagian: Malaysia, Brunei Darussalam dan Indonesia; pun Papua, terbelah pas di tengah pulau. Perubahan terbaru: Timor Leste dan Pulau Simpadan-Ligitan.

Dari situ pula saya menemukan kekhilafan. Pada Lampiran 4. Daftar Tambahan untuk kawasan Kalimantan, halaman 111, terjumpa rangkaian kata yang membuat kepala saya pening. Khawatir silap mata, saya membacanya berulang kali; entah berapa kali. Sempat meminta tolong kepada seorang kawan, puyeng juga! Sobat yang lain malah terkekeh.

Apa boleh buat, DBI harus diakui memendam perkara serius.

Silahkan memelototi kalimat yang saya sitir mentah-mentah: Spesies dengan nomor spesies (sequence) merupakan spesies yang ada di Indonesia, tercatat di Kalimantan tetapi tidak tercatat di Kalimantan bagian wilayah Indonesia.

Kalimat pertama, sebelum tanda koma | , | tak ada masalah—dengan mengabaikan kata spesies yang diulang-ulang. Baru pada kalimat kedua tak jelas maksudnya. Jika burung bernomor spesies adalah burung Indonesia, lantas kenapa tak tercatat di Kalimantan bagian Indonesia?

Agar mudah memahami, sequence atau nomer spesies burung bak nomer identitas seseorang, bisa berupa kartu tanda penduduk (KTP) atau surat ijin mengemudi (SIM). Dengan ber-KTP Cimahpar, misalnya, seseorang resmi duduk di kelurahan ini. Lalu kalau ternyata tidak tercatat di kantor kelurahan? Penghuni haram ber-KTP gelap?

Cerita singkatnya, kalimat itu ambigu: yang pertama mengesahkan keberadaan burung di Indonesia, yang kedua menafikannya. Maksudnya tak dapat ditangkap, malah membingungkan. Padahal buku yang akan menjadi ummul kitab ornitologi Indonesia ini seharusnya memudahkan kaum pembacanya.

Hal serupa terulang pada Lampiran 5 yang mendaftar burung untuk kawasan Papua Nugini. Apa maksud para penulisnya dengan kalimat yang berputar-putar itu? Saya benar-benar tidak tahu.

Itu baru satu soal. Yang lain: (*) Barau’s Petrel Pterodroma baraui dalam (Berg dkk. 1991). Kalimat ini saya cuplik dari Lampiran 3. (tanpa judul lampiran!) halaman 97.

Tak tahu kenapa setelah verba dalam diberi tanda kurung |(…)|. Siapapun yang membaca kalimat itu akan tercekat, karena kata dalam seharusnya tak ‘dipisahkan’ dengan tanda kurung. Khilaf ini, meski sepele, tak main-main. Apalagi berderet-deret panjang pada Lampiran 3.

(Rupanya, penulis DBI begitu gandrung dengan tanda kurung. Saking berserak di sana-sini, nampak sejumlah salah tulis. Baik lupa memberi tanda kurung buka maupun tutup. Bahkan, ada tanda kurung dalam kurung).

Sejauh pengetahuan saya, kata dalam bisa berfungsi sebagai adjektiva, kata sifat. Sungai Cimahpar itu lumayan dalam (bersifat tidak dangkal), misalnya. Di saat yang lain, dia dapat berfungsi sebagai partikel, seperti: Jika kering, taruhlah handukmu dalam lemari pakaian. Nah sebagai partikel, si dalam ini memerlukan obyek.

Lantas, verba dalam pada kalimat (*) Barau’s Petrel Pterodroma baraui dalam (Berg dkk. 1991) berfungsi sebagai apa mudah ditebak. Dan, (Berg dkk. 1991) bukanlah obyek, kecuali tanda kurung dihilangkan. Maksud, arti dan kapan tanda kurung layak dipakai, tak perlu panjang-lebar, bisa ditengok dalam Ejaan yang Disempurnakan yang seharusnya para penulisnya telah khatam sejak sekolah menengah pertama.

Tak perlu khawatir, banyak khilaf dan ketidak-ajekan lain yang bisa ditunjuk dengan jari. Mulai dari pemakaian tanda koma, titik koma, kurung sampai titik seperti acak-acakan. Sepele, tapi dengan sejumlah penulis yang telah melewati bangku kuliahan hal itu haram terjadi.

Penulis yang bejibun sebenarnya bisa menghindarkan kekhilafan. Saya tidak tahu persis bagaimana rombongan peracik DBI bekerja. Bisa diduga, para penulisnya lebih banyak berkutat dengan daftar burung. Maklum, selain ribuan burung yang harus diperiksa, DBI juga ditaburi begitu banyak pustaka. Wajar pula ada nama penulis yang dicuplik meleset dari daftar pustaka.

Tak gampang memang.

Karena itu menulis buku apapun dibutuhkan seorang penyunting. Cukup mengherankan buku sepenting ini tak ada penyuntingnya. Sering juga sang penulis merangkap sebagai penyunting. Yang terakhir ini tak patut pula ditiru, kecuali hendak berkepala batu.

Taruhlah tak ada penyunting yang akrab soal perburungan, bisa meminta bantuan kepada kawan untuk membaca lembar siap-cetaknya.

Nasi sudah menjadi bubur. Apa yang bisa diperbuat? Tak lain, tak bukan: perbaikan.

Oleh: Agus Prijono